Terwujudnya 6666 Ayat Dalam Tirai Surgawi
Terwujudnya
6666 Ayat Dalam Tirai Surgawi
By:
Ika Rohjayanti
Matahari pagi belum seutuhnya keluar,
nuansa gelap masih menyelimuti indahnya kota jakarta. Sebagian penduduk masih terlelap
dalam istana malam dan sebagian lagi sudah hilir mudik mencari sesuap nasi
untuk keluarganya. Hawa dingin begitu menyeka laksana ratu salju yang hendak membekukan
wilayah kekuasaannya. Dingin
itu masuk kedalam kamarku, menembus dinding dan selimut tebal yang merangkulku
sedari tadi malam.
“
Keysya, bangun sudah
siang ”
teriak bunda yang membangunkanku dari luar kamarku. Aku mendengarnya, tapi aku
malas untuk bangun mataku terasa berat lagi pula ini adalah hari minggu, hari
untuk santai.kuabaikan teriakan bunda, dan kutarik selimutku hingga menutupi
sekujur tubuhku.
“ Keysya, bangun ” teriak bunda untuk yang kedua
kali, teriakan ini volumenya tiga kali lebih keras dari pada yang tadi. Rasanya
gendang telingaku yang terbalut selimut setebal ini hampir pecah. Untuk
menghindari teriakan bunda yang lebih keras, kupaksakan diriku bangkit dari
kasur yang memang sedari tadi menggodaku untuk terlelap lagi. Dengan malas
kubuka pintu kamarku.
“
iya bun Keysya sudah bangun, kenapa bun? ” aku menyusul ayah dan bunda diruang
tengah dengan mata yang sesekali terkatup karena menahan kantuk.
“
Key kamu sudah salat
subuh “ tanya bunda sambil menyeruput secangkir teh hangat.
“ udah bun tapi tadi Keysya tidur lagi ” jelasku, lalu menghempaskan
tubuhku diatas sofa .
Tut.....
tut.....tut..... suara dering handphoneku berdering kencang, suaranya begitu
menggema meskipun kuletakkan ia dikamar. Dengan cepat aku mengangkat telefon
itu.
“ halo, Din ada apa? ”tanyaku pada Dian, sahabatku.
“ Key,jalan tuk inikan hari Minggu
nanti aku jemput kamu dirumah ya ”
suara
Dian yang sedikit terputus, mungkin karena kondisi signal yang lemah.
“
mau jalan kemana ”
tanyaku.
“ kemana aja yang penting jalan, aku
lagi bosan dirumah, mama sama papaku lagi ke Bandung nengok nenekku yang lagi
sakit ”
“ oke deh aku siap-siap dulu ya ” jawabku semangat.
Kembali kuletakkan handphoneku diatas meja
belajar, kembal aku menemui ayah dan bunda untuk meminta izin.
“ bun Keysya jalan ya sama Dian ” wajahku berubah menjadi semangat.
“ Key inikan hari Minggu, kamu gak
mau dirumah aja, mumpung ayah lagi libur “ jawaban bunda halus namun isyaratnya menolak.
“
ayolah bun kasihan Dian nanti nunggu Keysya gimana. Boleh ya bun ” aku memohon pada bunda ekaligus
memaksanya.
“ ya sudah tapi pulangnya jangan
malam-malam ya “ dengan berat hti akhirnya bunda mengizinkanku.
“ dasar anak muda paling gak bisa kalau disuruh
diam dirumah ”
ledek ayah padaku.
“ harap maklum ya, oh ya bun makasih
ya atas izinnya ” Dengan bahagia aku meninggalkan yah
dan bunda diruang tengah. Ayah dan bunda hanya tersenyum melihat tingkahku.
*******
Sekitar 30 menit telah berlalu, aku
sudah siap untuk jalan. Semua persiapan sudah lengkap. Dengan setelan
dress warna biru, kurang lebih panjangnya tiga jari diatas lutut, kuurai rambut
panjangku dan tak ketinggalan tas kesayanganku.
“ bun, Keysya sudah siap ” kutemui bunda yang masih setia di
ruang tengah.
“
Astagfirullah, Key kamu
mau keluar pakai baju ini ”
bunda terkejut saat melihat penampilanku.
“
ya iyalah bun, mau pakai apa lagi inikan sudah bagus, Key juga cocok pakai baju
ini” jawabku sambil memperlihatkan baju yang kupakai.
Jujur saja bunda memang tidak suka, jika
aku memakai baju yang serba pendek. Entah apa yang terjadi? Tapi tetap saja aku
sering memakai baju seperti ini. Karena biar bagaimanapun baju seperti ini
sangat digandrungi anak muda masa kini. Semua nak muda memakai pakaian seperti
ini, dan tak ada apapun yang terjadi. Menurutku bunda terlalu khawatir, maklum
pada zaman bunda muda semua orng masih menggunakan baju serba panjang dan
tertutup.
Tit...... tit......tit..... suara klakson
mobil Dian sudah mendenging.aku langsung keluar memastikan bahwa itu Dian bukan
tetangga sebelah atau penjual sayur yang lewat depan rumah.
“bun
Key berangkat ya, nanti sore kita lanjutkan obrolan kita. Bye bun, bye yah”
tanpa megucapkn salam aku langsung meninggalkan ayah dan bunda begitu saja.
Aku berlari keluar rumah dan menghampiri
mobil Dian yang sudah terparkir di depan gerbang rumahku. Aku langsung masuk ke
dalam mobil dan seketika mobil Dian melesat laju meninggalkan rumahku.
“Din
kita mau kamana?”tanyaku karena kami belum memiliki tujuan.
“
gimana kalau kita ke cafe langgana aku, disana makanannya enak-enak “ kata Dian
meminta persetujuanku.
“
oke, kita kesana”
Liku-liku jalan kami tempuh, kerlip lampu
lalu lintas pun kami lewati. Kepadatan jalan raya sudah tak menjadi hal yang
mengejutkan bagi kami. Sekitar 20 menit kami sampai di sebuah cafe. Ukurannya
cukup besar, disainnya mengikuti gaya Eropa, pengunjungnya juga cukup ramai.
Dian langsung menarikku pada sebuah meja kosong di sudut ruangan. Kami termasuk
orang yang beruntung baru datang langsung mendapat tempat duduk. Karena masih
banyak pengunjung lain yang harus mengantri menunggu pengunjung di dalam
selesai makan.
“
Din, habis ini aku langsung pulang yah” kataku sambil mengunyah sepotong steak
yang kupesan tadi.
“
ya ampun Key, kamu buru-buru banget padahal habis ini aku mau ngajak kamu shopping
“ jawab Dian menghentikan makannya.
“
maaf banget ya Din, aku bener-bener gk bisa. “
“okelah
gak apa-apa kok, yang penting kamu udah temenin aku sarapan pagi” Dian kembali
melanjutkan melahap soup panas dihadapannya.
*******
“ assalamu’alaikum bun, Keysya pulang “ aku
langsung masuk rumah dan mencari bunda berada. Tak ada jawaban kudapat, bunda
pun tidak ada di dapur ataupun taman belakang rumah. Samar-samar kudngar
bisikan orang berbicara dari kamar ayah dan bunda. Semakin kudekati pintu kamar
itu semakin jelas pula bisikan itu.
“
ayah yakin mau ke Jerman sekarang”suara bunda yang terdengar kurang jelas dari
luar.
“ya
bun, yain tidak yakin ayah harus berangkat karna ini adalah tugas” jelas ayah
pada bunda, masih dengan suara yang kurang jelas karena terbatas dinding kamar.
Dari
balik pintu yang sedikit terbuka, kulihat bunda sedang menyiapkan barang-barang
ayah mulai dari pakaian, obat-obatan, dan beberapa perlengkapan lain ke dalam
koper berwarna hitam yang terbuka lebar di atas kasur.
“ayah
mau kemana?” aku langsung membuka pintu kamar ayah dan bunda tanpa
permisi.membuat tatapan meraka tertuju padaku karena mereka terkejut.
“ayah
ditugaskan ke Jeman dan sore ini ayah akan berangkat” ayah menghampiriku yang
masih berdiri di depan pintu.
“
berapa lama ayah akan pergi “
“
hanya dua bulan “
*******
Matahari sudah mengundurkan diri dari
permukaan bumi ini. Meninggalkan magic hour
berwarna orange yang penuh dengan keindahan. Matahari pergi meninggalkn
bumi dengan keindahan. Begitupun denganku, ayah akan meninggalkanku pergi ke
negeri orang.aku tau bukan sekali dua kali ayah meninggalkanku, tapi aku tak
tau kali ini aku sangat berat ditinggal ayah. Pelukan terakhir pun terjadi, air
mataku tak tertahan lagi. Dalam pelukan itu ayah berpesan padaku
“Keysya,
selama ayah pergi tolong jaga bundamu, jangan buat dia menangis dan kecewa,
ayah percaya padamu, kamu adalah putri kebanggaan ayah. Banggakan ayah dan
bunda di dunia maupun di akhirat nanti. Ingat pesanayah ya nak.” Biikan ayah
egitu tulus membuat pendengaranku tersentak, bulu kudukku berdiri bersamaan.
Burung raksasa berwarn putih menjadi samurai
bagiku aku mrasa dia akan merebut ayahku, aku taktau kenapa akubisa berfikiran
seperti itu. Gerbang perpisahan terbuka lebar, ayah pun memasuki gerbang dan
dalam sekejap tubuh ayah tak terlihat lagi. Perlahan burung raksasa itu
meninggalkan sangkarnya terbang ke alam bebas mencari sangkar berikutnya.
Setelah penerbangan ayah cukup jauh, bunda
mengajakku pulang. Perasaan gelisah menjajah hatiku merasuki fikiranku dan
membunuh logika normalku. Bunda juga merasakan hal yang kurasakan, mungkin
karna ada ikatan antara ibu dan anak . ataupun mungkin ikatan sepasang suami
istri. Sudah setengah jam aku dan bunda saling membisu di dalam mobil. Akhirnya
sampailah mobil kami di pintu gerbang rumah. Aku langsung masuk kedalam rumah
dan menuju kekamarku. Kuletakkan tasku diatas kasur begitupun handphoneku
kulempar begitu saja di atas kasur. Kubuka tirai jendelaku, sehingga cahaya
dari alam terbuka memenuhi kamarku. Pandanganku tertuju pada langit yang luas,
sebuah pasawat sedang melintas disana yang ada dalam benakku, apakah itu
pesawat ayah? Namun tidak mungkin, pesawat ayah sudah terbang setengah jam yang
lalu. Kembali kututup tirai jendelaku dan menyalakan AC kamarku . kurebahkan
tubuhku diatas kasur mencoba untuk memejamkan mata dan tidur. Dalam lelapnya
tidurku, aku bermimpi bertemu ayah di sebuah taman yang indah. Disana banyak
sekali bunga dan kupu-kupu yang bertaburan bagaikan salju. Ditengah taman itu
terdapat pancuran air. Ditempat itu ayah memberiku sebuah jilbab berukuran
besar dan sebuah Al-Qur’an . saat memberikan semua itu ayah berkata “ ayah akan
pergi untuk selamanya, tolong gunakan kedua barang ini dalam hidupmu, jadikan
sebagai sahabatmu dan jadikan pedoman hidupmu. Ayah pergi dan tak akan kembali
lagi. Ayah berharap bisa bertemu denganmu dan bundamu di alam surga. “
Setelah itu ayah lenyap begitu saja, dan
aku terbangun dari tidurku. Wajahku basah oleh keringat, dinginnya AC dikamarku
tak berpengaruh dengan derasnya arus keringat ku. Kembali ku coba memejamkan
mataku, namun saat aku hampir terlelap lagi, indra pendengaran ku mendengar
suatu ketukan dari pintu utama. Segera ku langkahkan kaki menuju pintu. Betapa
terkejutnya diriku saat membuka pintu tersebut, ternyata di balik tebalnya
pintu iu ku dapati dua orang polisi yang berdiri tegap di depan pintu. “
“
a.... a..... ada apa pak? “ Tanyaku sedikit tergagap.
“
Apa benar ini rumah dari bapak Bayu Wijaya “
“
benar, saya anaknya. Ada apa ya ?” Tanyaku penasaran.
“
apakah benar sekitar 45 menit yang lalu ayah anda menjadi salah satu penumpang
pesawat jurusan Jerman “ Tanya salah satu polisi padaku.
“benar,
ada apa ? apa yang terjadi pada ayah saya” Aku sedikit cemas, karena kedua
polisi itu membahas tentang ayah ku.
“sekitar
15 menit yang lalu, pesawat yang di tumpangi ayah anda hilang kontak saat
berada di atas perairan luar Indonesia. Dan kemungkinan besar pesawat tersebut
jatuh ke dalam perairan.” Jelas kedua polisi itu padaku.
Mendengar kabar tesebut, air mataku mengalir
deras. Tangisku tak tertahan lagi, dua orang yang baru saja mengantarkan kabar
buruk setajam samurai itu tak kuhiraukan lagi. Aku terduduk di lantai begitu
saja meratapi tragisnya nasib ayah. Begitu mendengar keributan di luar, bunda
yang sedari tadi sibuk di kamarnya keluar. Dan sangat terkejut melihatku
menangis tak berdaya.
“
ini ada apa pak ?” Tanya bunda pada kedua polisi yang masih berdiri tegak di
depan pintu. Kedua polisi tersebut menceritakan ulang, apa yang baru saja
mereka ceritakan padaku. Sama halnya denganku bunda pun menangis. Kami berdua
saling berpelukan untuk menguatkan satu sama lainnya. Sejak hari itu berita
demi berita jatuhnya pesawat kutelusuri sampai akhirnya dua minggu berlalu,
berita jatuhnya burung raksasa itu beredar di mana-mana. Berulang kali aku dan
bunda ke kantor polisi, namun tak ada hasilnya. Bangkai pesawat dan seluruh
penumpang hilang begitu saja. Akhirnya pihak kepolisian menghentikan pencarian.
Untuk kedua kalinya kabar buruk tentang ayah terulang kembali. Berawal dari
jatuhnya pesawat ayah hingga jasad ayah yang tidak di temukan. Aku berpikir
bahwa ini adalah permulaan hidupku sebagai anak yatim. Entah apa yang terjadi
tanpa adanya ayah.
*******
Mungkin ini sudah 6 bulan sejak kepergian
ayah. Semua kehidupanku berubah, aku yang dahulu tinggal di rumah yang besar,
laksana istana bagi raja dan ratu. Mungkin dulu semua yang ku inginkan selalu
terwujud bahkan jika aku menginginkan bintang pasti akan ku dapat. Namun,
sekarang aku hanya orang biasa, tinggal di sebuah rumah yang sederhana, ibu
menjadi seoarang penjahit kecil-kecilan, dan lebih parahnya lagi, sahabatku
orang yang ku anggap paling mengerti semua tentang diriku, Dian telah
meniggalkanku. Dia tak mau mengenalku lagi setelah tau keluargaku jatuh miskin.
Ini adalah hari yang ku tunggu, penantian
untuk mengetahui nilai kelulusan telah tiba. Terpampang jelas 759 nama siswa beserta
nilai kelulusannya. Ku telusuru nama itu satu persatu, senyumku mengembang,
saraf kebahagiaan menguasai seluruh
ragaku. Betapa bahagianya aku setelah tau bahwa nilai ujianku berada pada
urutan ke-2 aku tak pernah menyangka ii terjadi. Namun sayang, kebahagiaan itu
tak bertahan lama saat sindiran tajam mengkritik kesuksesanku.
“percuma
punya nilai tinggi, kalau orang miskin paling mentoknya habis ini nikah. Terus
ngepel, nyapu, dan masuk didapur. Gak munkin sanggup bayar biaya kuliah “ Ketus
Dian, orang yang pernah menjadi sahabatku. Mendengar kata-kata itu semua siswa
yang ada di sekitarku tertawa, mereka menertawakanku yang kini telah jatuh
miskin dan tidak mempunyai kepopuleran seperti dahulu.
“benar
kamu Din, biaya kuliah kan mahal “ Aku tak tau siapa dia, dia mengatakan itu
dengan lantang dan berupaya agar semua siswa mendengarnya.
“ha.....ha....ha......
kasihan kamu Key, semoga sukses menjadi pembantu “ Timpal Dian yang dari tadi
berdiri tegak di hadapanku.
Air mataku tak tertahankan lagi, ingin aku
menyangkal tapi tak ada gunanya semua yang mereka katakan itu benar. Aku takut
bertambah malu, akhirnya kuputuskan untuk lari dari kerumunan orang tak berhati
nurani itu. Dalam langkahku menuju rumah aku terus menangis, seisi bumi seolah
mengejek kekuranganku. Aku malu akan semua ini dahulu aku selalu di sanjung
setinggi langit dan kini aku harus di hina bahkan di injak-injak.
Tanpa sadar aku telah menangis sepanjang
jalan, dan kini halaman rumahku sudah mulai terlihat dari kejauhan, begitupun
bunda yang terlihat membungkuk menyapu halaman. Aku tak ingin melihat bunda
bersedih karena air mataku, aku hanya ingin kebahagiaan pada bunda dengan
menceritakan nilai ujianku. Ku hapus air mataku dengan selemabar tisu yang ada di dalam tas ku.
Setelah ku pastikan air mataku kering kulanjutkan langkahku dan menemui bunda.
“Bunda,
Keysya punya kabar gembira” teriakku dari luar pagar kayu rumahku.
“kabar
apa sayang” Bunda terkejut dan meletakkan sapu lidinya.
“
Bun, Keysya mendapatkan nilai yang cukup bagus. Nama keysya berada pada urutan
ke-2” langsung kupeluk bunda seerat munngkin.
“Alhamdulillah
bunda bangga sama keysya, satu dari keinginan dari ayahmu sudah terwujud yaitu
kamu bisa masuk 5 besar dalam nilai kelulusan” bunda menangis dalam pelukanku
karna bahagia.
“
tapi, sepertinya hanya sampai disini Keysya bisa mewujudkan mimpi ayah. Dahulu
ayah ingin Keysya kuliah di universitas yan terkenal, tapi sekarang semua itu
tidak akan terjadi” kulepaskan pelukan bunda dan duduk di sebuah kursi di teras
rumah namun setelah melihat ekspresiku bunda hanya tersenyum.
“kenapa
bunda tersenyum “ Tanyaku penasaran.
“
kamu salah, ayahmu tidak pernah menginginkan itu. Ayahmu hanya ingin kamu
menjadi bagian dari tirai syurgawi. Tempat yang disayangi Allah”
“Tirai
syurgawi, apakah itu bun key tidak mengerti.”pandanganku tertuju pada bunda,
tatapanku penuh dengan pertanyaan.
“Tirai
syurgawi adalah tempat dimana seluruh umat muslim mencari ridha Allah terkumpul
tempat itu adalah Pesantren.”
“tapi
percuma, Key tidak akan bisa masuk kesana. Saat ini kondisi keuangan kita
sangatlah minim tidak memungkinkan untuk melakukan itu.” Belum sempat aku
selesai berbicara bunda sudah memotong kata-kataku.
“tidak
ada yang percuma. Sebelum ayahmu pergi ia sudah mendaftarkanmu pada sebuah
pesantren mungkin ayahmu tau bahwa ia akan pergi dan hanya itu yang dapat dia
lakukan untuk membantu masa depanmu”
“benarkah
itu bun?”
“itu
benar, saat ini semua keputusan ada pada gengamanmu. Kamu ingin membahagiakan
ayahmu atau tetap tanpa tindakan” jujur saja, pesantren bukanlah tujuanku, tapi
ini demi ayah maka apapun akan ku jalani.
“bun
demi ayah Key akan melakukan itu”jawabku dengan penuh keyakinan. Terkejut
dengan pernyataaku bunda kembali bertanya padaku.
“
apakah kamu yakin “ tanya bunda padaku.
“insha
Allah Keysya yakin” jawabanku masih tetap sama
Pada hari itu pertama kalinya aku melihat
bunda sangat bahagia setelah ayah meninggal.pelukan bunda begitu erat dan
hangat. Senyum bunda terlukis sempurna pada wajah bunda yang tampak keriput
dimkan usia.
*******
Mentari pagi menampakkan diri menghapus
sedikit demi sedikit kabur yang menyelimuti kota. Satu per satu lampu
dipinggiran jalan mula padam menyisakan keramaian dalam gelap kerlap kerlip
lampu motor mobil dan bis bertaburan memenuhi jalanan. Menciptakan pemandangan
layaknya kunang-kunang malam di pepohonan. Pagi ini menjadi awal hidupku yang
baru. Kumulai lembaran baru hidupku dari pagi ini. Begitu lamban angkutan umum
yang kusewa ini. Jalannya bagaikan siput yang tidak makan selama satu bulan.
Kuamati pemandangan luar melalui kaca angkutan ini. Menyaksikan berbagai
aktivitas sluruh manusia di kota ini. Perlahan-lahan matahari menampakkan
dirinya, mega merah makin lama sirna ditelan cahaya emas sang surya. Semakin
panas cahaya sang surya semakin panas pula aktivitas robot-robot bernyawa ini.
Ya... itulah pemandangan terminal yang baru saja kupandangi dari balik kaca
angkutan. dengan kekuatan kedua tangan mungil ini kuangkat sebuah tas kecil
berisi pakaian dan kugondong sebuah ransel kecil berisi barang-barang
pentingku. Sebuah bus berwarna biru dengan corak merah putih menjadi tujuanku.
Beruntunglah aku bus tersebut belum berangkat bahkan hanya ada beberapa
penumpang wanita di dalamnya.
Saat hendak kulangkahkan kakiku menuju bus,
tiba-tiba langkahku terhenti begitu saja. Aku baru menyadari jika aku pergi
maka siapa yang akan menjaga bunda haruskah bunda menjadi sebatang kara di kota
sebesar ini. Mengapa pikiranku tak sejauh itu ? mengapa aku tak memikirkan
bagaimana jika bunda sakit maka siapa yang akan menjaganya. Tanpa sadar air
mataku mengalir deras kupeluk bunda yang masih berdiri yang masih di
belakangku.
“kamu
kenapa Key, apa yang membuatmu menangis” sebenarnya bunda tau apa yang aku
rasakan tapi bunda berlagak tidak tau.
“bunda
jika Key ke pesantren, haruskah Key meninggalkan bunda. Bagaiman dengan bunda ,
apakah bunda tidak kesepian ? bagaimana jika bunda sakit siapakah yang akan merawat bunda?” begitu
panjang pertanyaan yang ku lontarkan pada bunda.
“bunda
akan aman berada disini, bunda selalu aman dengan perlindungan Allah, yang
terpenting adalah kamu jangan lupa mendoakan bunda, semoga bunda selalu sehat
dan selamat selama kamu sedang berjalan dalam sutra ilahi” bunda menghiburku
dengan kata manisnya.
Perlahan bunda melepaskan pelukanku dan
menghapus air mataku dengan tangannya yang penuh kasih sayang. Bunda mencoba
menguatkan pendirianku untuk tetap pergi. Kembali kubalikkan tubuhku melihat
penumpang bus yang hampir penuh lalu kembali menatap bunda.
“bun
Keysya takut rindu pada bunda” kembali kutitikkan air mata diwajahku.
“
Jika kamu merindukan bunda gunakan benda ini” sebuah tasbih berwarna biru bunda
berikan padaku.
“bagaimana
jika Keysya ingin berbicara dengan bunda” aku kembali bertanya setelah kuterima
tasbih itu.
“jika
kamu ingin berbicara pada bunda, gunakan nomor ini, sudah cukup semua keluhanmu
sekarang tinggalkan bunda dan penuhi keinginanmu” bunda menyodorkan sebuah
nomor Hp padaku.
Setelah selesai dengan semua pertanyaanku
dengan berat hati kulangkahkan kakiku, mendaki tangga bus dan memilih sebuah
singgasana di dekat jendela. Kududukan diriku pada singgasana tersebut
dankuarahkan pandanganku pada jendela kaca di sampingku. Pandanganku menembus
tebalnya kaca menelusuri sisi demi sisi terminal ini. Mencari dimana malaikatku
berada. Pandanganku tertuju pada satu titik yaitu gerbang terminal disanalah
malaikatku sedang berjalan meniti jalanan yang penuh debu. Perlahan bus yang
menjadi anak buahku mulai meninggalkan rumahnya dan mencari kehidupan baru
diluaran. Satu per satu gedung kota kulewati liku-liku jalan kujelajahi.
Sambutan demi sambutan pohon cemara telah kuterima. Nyanyian merdu dari
penguasa udara pun kucerna dengan bahagia.
Tanpa sadar perlahan bus yang ku tumpangi
mulai meninggalkan keramaian kota dan mulai merambah daerah pedesaan, seluruh
suasana berubah derastis tingginya gedung dan mewahnya rumah berubah menjadi
pepohonan yang menjulang tinggi mengibarkan sayap-sayap hijaunya dan menaburkan
berbagai warna bunga. Bangunannya pun sederhana dan arsi, halamanya di penuhi
pepohonan buah dan berpagarkan beragam jenis bunga. Tak ada polusi udara masih
segar, semua sangat sempurna tak ada kecacatan alam sama sekali. Berulang kali
kupu-kupu hinggap di jendela kaca, mungkin dia istirahat sejenak karena kelelahan,
setiap jengkal perjalanan ini menimbulkan berbagai gambaran surga.
*******
Sebuah gerbang brdiri kokoh balutan cat
hijau dan percikan putih berpadu di
permukaannya . Enam kata yang terkait dalam satu kalimat menandakan bahwa
ribuan langkah yang kutempuh telah usai. Peluhku terbayar melihat hamparan
papan yang di susun sederhana melukiskan kalimat ”Pondok Pesantren Man Jadda Wa
Jadda” . Tempatnya terletak di tengah pedesaan, tidak ada ATM, Supermarket,
atau jaringan WIFI. Bangunan di sekitarnya sangat sederhana, terbuat dari kayu
yang di cat beragam warna. Untuk menjawab rasa penasaranku, aku langsung masuk
ke dalam gerbang pesantren itu. “ Subhanallah” itulah yang ku ucap dalam
batinku. Udaranya sejuk, bangunan yang sederhana terbuat dari kayu, taman,
musholla, dan segalanya tersusun rapi dengan sentuhan kaligrafi di setiap teras
bangunan.
Seorang gadis muda menghampiriku. Dari
pakainnya tampaknya dia seoran santri disini. Dia tampak anggun dengan balutan
hijab yang panjang menyerupai mukenah sholat, bergamis panjang bahkan mungkin
hampir menyentuh tanah, bahasanya halus dan sopan. Mungkin dia adalah salah
satu bidadari penghuni surga.
“
Assalamu’alaikum, ada yang bisa saya bantu mbak” sapa gadis itu padaku
“Waalaikumsalam,
saya dari Jakarta. Saya ingin bertemu dengan ustadz Gaffar” pintaku padanya.
“
Oh, mari biar saya antar kebetulan ustadz Gafar sedang istirahat “ gadis itu
meraih tanganku dan mengantarkanku pada sebuah tempat. Dalam perjalanan itu
sempat ada percakapan antara aku dan gadis itu.
“Nama
mbak siapa, ?” Tanya gadis itu padaku.
“nama
saya Keysya Nur Aini Az Zahra, kalau nama mu siapa ?” aku balik bertanya
padanya.
“nama
saya Nur Aisyah panggil saja Aisyah”
“kamu
santri disini yah, kelas berpa ?”
“ia
mbak Keysya, saya sudah tinggal disini dari kelas I MI (Madrasah Ibtidaiyyah )
sekarang saya sudah kelas XII MA (
Madrasah Aliyah )” Jelas Aisyah padaku.
Betapa terkejutnya aku mendengar jawaban
Aisyah. Dia sudah mulai menjadi santri selama 12 tahun, betapa hebatntya dia.
“jadi sudah 12 tahun, apa kamu tidak rindu
pada kedua orag tuamu” aku melanjutkan pertanyaan yang lebih dalam.
“maaf
mbak saya anak yatim piatu. Ayah saya meninggal karena sakit dan ibu saya
meninggal karena kecelakaan. “ Aisyah menundukkan kepalanya dengan raut wajah
tanpa cinta.
“maafkan
saya Aisyah” Aku merasa sangat bersalah telah menanyakan hal itu.
“tidak
apa-apa mbak. Oh iya ini rumah Ustadz Gafar “ menunjukkan sebuah rumah bercat
hijau berpagarkan bunga mawar merah.
“terima
kasih Aisyah .”
“iya
mbak sama-sama.” Aisyah meninggalkanku di halaman rumah itu.
Ku ketuk pintu rumah itu seraya mengucapkan
salam berulang kali. Perlahan pintu itu terbuka dan muncullah seorang lelaki
berkulit putih , wajahnya tampan dan bercahaya, dan aku merasa siapapun yang
berada di sekitarnya merasa damai .
“ada
yang bisa saya bantu “ sapa laki-laki itu padaku.
“saya
ingin mencari ustadz Gafar, pimpinan Pondok Pesantren ini” ku coba menghaluskan
gaya bicaraku mengikuti cara Aisyah berbicara.
“silahkan
masuk dulu, nanti akan saya panggilkan
abi di dalam” laki-laki itu memintaku masuk dan memintaku menunggu sebentar.
“
ia terima kasih. “
Aku duduk di subuah kursi kayu. Disain
rumah yang sederhana dan selalu menaburkan udara sejuk di setiap sisi ruangan.
Aku tak tau dari mana asalnya udara itu padahal tak ada AC ataupun Kipas angin
disini. Tak butuh lama untukku menunggu, keluarlah seorang lelaki paruh baya
dari dalam ruangan dan laki-laki yang tadi masih setia keruang tamu.
“
apakah kamu mencari saya” tanya lelaki itu. Dari pertanyaannya dapat kurumuskan
bahwa dialah ustadz Gafar.
“
ia ustadz, saya Keysya Nur Aini Az Zahra putri dari bapak Bayu Wijaya”
“Oh
kamu Key yang sering di certakan oleh pak Bayu “ seketika ustadz Gafar sangat
bahagia mengetahui identitasku seolah telah mengenalku akrab.
“
saya sudah dengar tentang meninggalnya ayahmu. Sejujurnya sejak seminggu yang
lalu saya sudah menunggu kedatangan mu ke pesantren ini. “
Banyak pembicaraan yang telah meninggalakn
lisanku dan ustadz Gafar. Hingga akhirnya dia mengenalkan orang yang duduk di
sampingnya.
“
oh iya ini adalah putra angkat saya namanya Saiful Rohim dia adalah orang
yang membantu para santri dalam
menghapal Al-Qur’an “ jelas ustadz Gafar
sembari menepuk bahu putranya.
“
ustadz “ kusapa dia dan layangkan senyumanku padanya namun dia tidak membalas.
Dia hanya membisu dalam diam seribu bahasa.
“
panggil saja dia mas rohim biar lebih akrab” entah apa maksud ustadz Gafar
mengatakan hal itu padaku. Aku merasa ada sesuatu di balik semua ini.
“Mas Rohim”
kembali kusapa dia dan lagi-lagi dia hanya tertunduk tanpa bahasa. Jujur saja
aku sedikit sakit hati dengan sikap nya padaku.
*******
Sebuah ranjang sederhana dengan ranjang
kecil dan 3 lemari kecil disana. 2 lemari di antaranya tampak sudah terisi oleh barang-barang dan sebuah
lemari masih tampak kosong. Sebelum masuk kamar ini, aku sempat membaca nama
pemilik kamar ini. Anita Tiara, Novi Arumi, dan yang membuat ku heran adalah
nama ku sudah terpampang jelas diasana. Dua orang santri sedang asik
bercengkrama disana. Tertawa dan bercerita, itu lah yang terlukis pada wajah
mereka. Sepertinya tak ada beban pada diri mereka. Salah satu diantara mereka
melihat ku dan langsung menghampiri ku yang masing mematung di depan pintu.
Mereka menyambutku dengan senyuman.
Meskipun mereka belum mengenalku namun mereka berusaha akrab dengan ku. Mereka
berusaha membuat ku nyaman, mereka membantuku membereskan barang-barang.
Mengenalkanku dengan kegiatan pesantren. Menceritakan hal unik dan lucu atas
kejadian di pesantren ini. Dalam setiap cerita menciptakan torehan tawa, ribuan
cinta dan penghilang luka dalam hati. Baru sehari aku sudah merasa akrab dengan
mereka, mereka mampu membuatku bahagia.
Matahari berjalan begitu cepat
meninggalkan bumi. Ia menjelma menjadi malam dan sinarnya pecah menjadi jutaan
kaca yang bertabur pada tirai hitam yang luas dan megah karya sang pencipta.
Kunang-kunang melakukan rapat penting di sebuah pohon yang tenggelam dalam
gelap. Cahayanya menjadi bintang bumi mencoba menyaingi ribuan kaca pada tirai
hitam. Sayup-sayup udara malam berhembus menyapu kerudung abu-abu yang
kukenakan. Novi dan Anita sudah terlelap dalam istana tidur masing-masing.
Mungkin mereka sedang melukis takdir di alam sana. Menjadi penguasa pada alam
kedua. Tak dapat kupejamkan mataku walau sesaat. Dalam kedipan mataku selalu
hadir bayangan bunda, dalam detak jantungku selalu terlukis nama bunda. Betapa
berat pengorbanan ini, saat aku hanya mampu menemui bunda dalam mimpi dan hanya
mampu berinteraksi melalui naluri. Gelapnya malam membatasi pandanganku menjadi
tembok bagiku menjelajahi dunia luas. Jendela yang sedari tadi terbuka lebar
mempersilahkan dinginnya angin malam bertamu dikamar. Mencoba mengusai seisi kamar
dengan menghancurkan benteng kehangatan. Lama-kelamaan hawa dingin semakin
menguasai ruangan menyelinap pada sisi luang didalam kamar. Mengusik indahnya
mimpi kedua temanku, membuat mereka harus mencari selimut untuk berlindung dari
serangan pengusa kutub.
Tak tega hatiku melihat kejadian ini
menyaksikan kehangatan mimpi mereka yang terusik. Kututup jendela kaca dan
kujabarkan sebuah kain sarung yang tergantung di pinggir jendela ini. Kuhampiri ranjangku dan
kurebahkan tubuhku diatasnya. Mencoba untuk mendobrak dunia mimpi. Berperang
dengan dinding gelisah merobohkan pagar
kerinduan. Lambat laun medan perang kukuasai
membawaku masuk pada dunia fantasi.
*******
Matahari belum menampakkan diri sama
sekali. Kegelapan masih menguasai hari. Ayam pun masih lelap pada kandangnya.
“ Keysya, bangun “ Novi
menggoyah-goyahkan tubuhku yang masih terlelap.
“ Apakah ini sudah pagi, jam
berapa?” suaraku terdengar serak dan mataku masih terbuka pada ukuran kapasitas
rendah.
“ Belum, ini masih jam 03.30
“ Anita melihat sebuah jam tangan coklat berbentuk bulat yang menghuni
pergelangan tangannya.
Mendengar keterangan Anita aku semakin
malas membuka mataku. Namun mereka berdua tetap berisik dari tadi mengusik
indahnya mimpi tidurku.
“ nanti saja ini masih
terlalu malam untuk bangun “ aku menjawab dengan malas.
“ tapi kita harus bangun
untuk melakukan salat tahajjud “ Novi menjawabku dengan lembut.
Akhirnya kupaksakan diriku bangun. Anita
dan Novi langsung menarikku ketempat wudhu. Lalu kukenakan jubah akhiratku dan
pergi ke mushalla untuk mengerjakan salat tahajjud. Gerakan demi gerakan telah
berlalu dan di akhir salatku aku melakukan negosiasi kepada sang pencipta agar
menghapus dosaku yang sudah sebanyak buih di laut, kuluapkan seluruh keluh dan
kesah dalm hatiku. Kuambil sebuah sastra ilahi yang suci, ayat demi ayat
kulantunkan. Mengharap agar malaikat mencatat apa yang kusampaikan pada Allah
tuhanku.
Gema adzan mulai menggelar nama sang
pencipta di seluruh penjuru pesantren, memaksa mata yang terkatup untuk
bersinar dan mengobrak-abrik indahnya dunia fantasi para santri. Namun semua
itu tak dihiraukan, mereka tak perduli dengan indahnya bisikan malam yang
menggoda, mereka tau bahwa rapat besar di pagi hari akan memulai dan akan
menjadi gerbang membuka hari. Tak butuh waktu lama untuk menunggu mushalla
penuh satu persatu santri mulai datang. Menyusun puluhan shaf dengan ratusan
nyawa. Tak butuh polisi atau tentara untuk mengatur barisan dan formasi mereka.
Akhirnya rapat dimulai, negosiasi pun berlangsung dramatis penuh air mata dan
rasa rindu untuk menemui sang idola, Muhammad saw. Tabir mulai terbuka
menampilkan wajah ustadz Gaffar sebagai imam yang mulai menghadap pada
santrinya.
“ Assalamualaikum wr.wb “
kata awal pembuka ucapan dari ustadz Gafar.
“ Walaikumsalam wr.wb “
ratusan santri mencawab dengan kompak seperti rombongan paduan suara yang sudah
terlatih.
“ Seperti yang kalian
ketahui, bahwa kitab kita adalah Al-Qur’an. Murni dari tangan Allah, di
turunkan melalui malaikat jibril untuk di wahyukan kepada nabi Muhammad dan di
gelarkan kepada seluruh umat. Itu adalah pengetahuan yang umum. Jadi, apakah
ada diantara kalian yang sempat berfikir untuk menghafalkan Al-Qur’an “ setelah
panjang lebar penjelasannya, pertanyaan pun diungkapkan bagi seluruh santri.
Sebagian dari santri menjawab “ya” dan sebagian lagi mengatakan “ tidak “.
Kembali ustadz Gafar bertanya
“jika kalian semua menjawab
ya, apa alasannya?” tak ada satupun diantara semua santri menjawab. Ustadz
Gafar kembali melanjutkan dakwahnya.
“kalian semua tidak salah
menjawab “ya” apa kalian tau manfaat menghafal Al-Qur’an? Orang yang menghafal
Al-Qur’an bisa memberikan mahkota yang bercahaya kepada orang tuanya di syurga
nanti. Kalimat tersebut membuka memoriku pada ayah dan bunda, terbesit di
hatiku untuk melakukan itu, tapi aku merasa itu sangat berat.
Kalimat-kalimat mutiara tentang keutamaan
Al-Qur’an terus mengalir memasuki sela-sela telinga yang ada di dalam mushalla,
menggetarkan hati santri, membangkitkan motivasi bagi santri.
Sepertiga matahari mulai tampak, menggati
cat langit yang gelap menjadi orens memecah penjajah dingin yang sempat
berkuasa di bumi. Seluruh santri yang tadi mendapat siraman motivasi,
berhamburan keluar mushalla. Sebagian santi putrid pergi kedapur dan sebagian
yang masih menduduki bangku sekolah bersiap-siap.
“ Keysya, ayo kita kedapur “ Anita
mengajakku setelah dia selesai melipat mukenah.
“ Ngapain “
“ kita masak buat adik-adik yang mau
berangkat sekolah “ belum sempat aku menjawab, Anita telah lebih dulu menarikku
kedapur.
Sama dengan bangunan lain dapur ini
berdindingkan kayu bedanya dapur ini tidak memiliki lantai, jadi kita akan
memiliki kontak langsung dengan tanah. Novi sudah ada didapur, ia sedang
memotong bawang disudut ruangan.
“ Nov, kita mau masak apa “
Tanya Anita pada Novi yang tidak menyadari keberadaan ku dan Anita didapur.
“ hey, kalian sudah datang
ayo bergabung kita akan masak oseng kangkung dan tempe goreng “ ujar Novi yang
tengah menghentikan pekerjaan besi tajam ditangannya.
“ apa yang bisa kami bantu “
Anita menghampiri Novi disudut ruangan.
“ kalian berdua potong
temped an kangkungnya” menunjuk pada 10 ikat kangkung dan 15 buah tempe diatas
meja panjang di tengah ruangan.
Tanpa basa-basi Anita mengambil dua baskom
besar di rak piring dan dua buah pisau.
“Keysya kamu potong tempenya
ya, biar aku yang potong kangkungnya “ Anita menyodorkan sebuah baskom dan
pisau. Aku hany mengangguk memberi isyarat bahwa aku mengerti.
Besi tajam berkilau yang ku pegang
memutuskan hubungan antara kedelai satu dan kedelai lain yang sudah terjalin
dan tergabung dalam satu komunitas. Begitupun Anita ia membabat habis sayap
tumbuhan hijau dimatanya, tak habis disitu batang-batang tanpa penutupnya juga
dicincang habis. Dalam pertempuran di antara pisau dan sayuran itu Anita dan
Novi memperkenalkanku pada semu santri yang juga membantu memasak. 30 menit
telah berlalu satu baskom besar berisi sayur oseng kangkung, satu baskom berisi
potongan tempe berwarna coklat yang menggugah selera dan dua keranjang besar
nasi hangat sudah siap.
“ Nov, panggil adik-adiknya
untuk makan “ perintah Anita sambil menyusun kursi dibangku yang sangat
panjang.
“iya, tunggu sebentar” Novi
langsung keluar menuju kamar-kamar santri putrid.
“ayo adik-adik waktunya
sarapan, ayo cepat biar enggak terlambat berangkat ke sekolah” teriak Novi pada
anak-anak yang tengah bersiap-siap .
Tak butuh waktu lama untuk menyusun
antrean di depan hidangan. Anita dan dua temannya tengah sibuk membagikan
makanan. Piring demi piring menghampiri mereka meminta jatah makanan untuk
tuannya yang lapar. Antrean masih panjang, penantian masih lama,namun karena
mereka sudah terbiasa itu bukanlah hal yang sulit. Bagi mereka yang piringnya
sudah terisi langsung mencari tempat duduk untuk melahap habis makanannya. Aku
hanya duduk di salah satu ujung meja panjang menyaksikan ratusan anak dengan
berbagai warna seragam mengantre dan melahap makanan sederhana dengan bisu
tanpa ada keluhan dari lisan mereka. Makin lama ruangan menjadi sepi anak-anak
yang tadinya memenuhi ruangan sudah pergi meninggalkan pondok mengejar bangunan
lain untuk menimba ilmu.
*******
Waktu terus berlalu meninggalkan momen
terbitnya matahari, nuansa magic hour yang mempesona,dan sandiwara kaca menari
pada pada langit yang gelap.
“ Nit, kamu menghafal
Al-Qur’an ya?” tanyaku pada Anita saat tengah duduk diteras kamar.
“Aku lagi usaha Key” Anita
menjawabku dengan nada bicara sedikit terguncang.
“Nit kamu kenapa?”
kuperhatikan wajah Anita yang perlahan memerah.
“ Aku gak kenapa-kenapa” ia
madis tetap menundukan pandangannya.
“Apa yang membuatmu
mempunyai niat menghafal Al-Qur’an” kembali kubahas topik pembicaraan awal.
Anita masih diam,
lam-kelamaan Anita menangis ia langsung memelukku aku tak tau apa yang
terjadi?.
“Nit kamu kenapa?” aku
bertanya kepadanyanya saat dia mulai tak bisa menguasai tangisnya.
“aku menghafal Al-Qur’an
demi mama. Mama meninggal karena papa yang mempunyai wanita lain. Mama syok
berat dan nyawanya tidak tertolong dan….” Belum sempat perkataan selesai Anita
terhenti ia tak mampu menceritakan lagi. Namun sekuat tenaga ia berjuang untuk
bersuara dan mengalahkan lelehan air mata di wajahnya.
“ dan kini ayahku telah
menikah dengan wanita lain, orang yang telah menjadi penyebab perginya mama,
dan kini saatnyauntukku member kebahagiaan pada mama. Sudah cukup mama
menderita dunia karena ulah papa” dengan isak tangisss yang melanda Anita tetap
berusaha menceritakan semua.
“jadi itu alasanmu
menghafalkanAl-Qur’an”
Semoga kamu sukses ya” berbagai cara
kulakukan untuk menghibur Anita karena bagaimanapun aku yang membuatnya
menitikkan air mata. Akulah yang telah membuka memori masa lalunya.
*******
Setelah aku mengetahui kisah pilu Anita
yang menyayat hati. Kembali kulakukan observasi untuk mencari sisi lain dari
Novi. Kebetulan saat itu aku dan Novi sedang berdua didalam kamar mengepel,
menyapu, dan menyusun kedudukan barang dikamar.
“ Novi aku boleh Tanya
sesuatu” kuhentikan pekerjaan kain lap yang hinggap di tanganku.
“Tanya apa” Novi belum
menghentikan pekerjaannya
“kenapakamu menjadi
penghafal Al-Qur’an” seketika Novi menghentikan pekerjaannya dan menghampiri
jendela yang terbuka lebar, menyiarkan secara langsung luas dan indahnya
televise dunia.
“pasti kamu ingat ceramah
ustadz tadi pagi ya?” sedikit senyuman terpaksa terlukis pada wajah cantiknya.
“ Iya” aku menghampirinya
yang tengah melihat alam tanpa niat.
“Aku menghafal Al-Qur’an
karna kedua orang tuaku. Aku memang belum pernah melihat wajah kedua orang
tuaku, tapi aku yakin mereka orang baik,mereka adalah orang yang sangat
menyayangiku “
Novi menceritakan maksudnya sambil
memandangi cicin berbentuk hati ditangannya.
“ Maksud mu tidak pernah
bertemu mereka apa?” aku masih tidak mengerti dengan ucapan Novi.
“orang tuaku telah meninggal
karna kecelakaan, sejak saat itu aku di asuh oleh bibiku yang sebenarnya tidak
pernah menyayangiku, dia memperlakukanku layaknya pembantu. Akhirnya aku kabur
dari rumah itu dan bertemu ustadz Gaffar di sebuah toko. Saat itu juga ust
Gaffar membawaku kemari dan menjadi orang tua angkatku. Aku ingin membahagiakan
orang tuaku”. Novi menjelaskan kemelut hidupnya, dia terlihat tegar namun
bahasa matanya tak bisa berbohong. Ada sebuah kepedihan yang tak mungkin akan
terobati walaupun nya melayang dari raga Novi keluar dar kamar begitu saja, aku
tak tau kemana ia pergi mungkinkah ia mencoba menenangkan diri.
Aku masih berdiri dibalik jendela,
memperhatikan tasbih berwarna biru yang diberikan bunda. Sesekali aku memandang
keluar kamar, memperhatikan indahnya lukisan tiga dimensi karya pencipta alam,
sastrawan paling berbakat seantero jagat raya. Aku baru menyadari ternyata
dibalik canda dan tawa Anita dan Novi ternyata ada luka yang terpendam. Aku
salut pada mereka, mereka masih mampu tersenyum dalam tangis. Bahkan mereka
berusaha menghadiahkan mahkota untuk orang tua mereka, rela bergadang dalam
pelukan malam untuk sekedar menghafal satu dua ayat dalam Al-Qur’an. Jika difikirkan
dengan nakar nasib mereka lebih tragis dari pada aku. Mereka ditinggalkan orang
yang mereka sayangi dengan cara yang sangat menyedihkan. Jika mereka masih
sanggup bangkit maka aku juga akan berusaha bangkit, meninggalkan keterpurukan
yang mendera. Sore ini dibawah hamparan langit biru, disaksikan oleh ribuan
semut merah, oleh senyuman sang surya, dan atas kesaksian lagu burung aku akan
menjadi “ SEORANG PENGHAFAL AL-QUR’AN”. Aku ingin mengikuti jejak kedua
sahabatku Anita dan Novi.
“Ayah bunda tolong do’akan
buah hatimu ini, tolong bantulah hatiku untuk tetap istiqomah dengan niat suci
ini”. Pinta ku dalam hati,kembali kupandangi tasbih biru seraya mengucapkan
istigfar dan tanganku memaikan bulir-bulir permata yang nanti nya akan menjadi
temanku dialam kubur.
*******
Kini genap satu tahun aku tinggal di
pondok pesantren “ Man Jadda Wa Jadda” ribuan kenangan telah terlukis pada
hamparan pesantren ini, rajutan persahabatan antara aku, Anita, dan Novi
semakin erat. Persahabatan yang bernaung dalam selimut islami berhiaskan bulir
tasbih dan ayat suci, terikat dalam persaudaraan anak adam dan hawa. Sampai
saat ini aku masih sanggup menepati janji suciku untuk menghafal bahasa suci
sang pencipta. Siang dan malamku menjadi kelas dalam lisanku dan logikaku untuk
sekedar mengingat satu dua ayat. Kini 21 juz sudah berhasil kukuasai,berhasil
melukiskan jati dirinya dalam otakku. Setiap tiga hari sekali kusetorkan
ayat-ayat yang sudah menjadi penghuni tetap pada otakku kepada mas Rohim. Entah
ada ikatan apa antara aku dan mas Rohim? Kedekatan kami terjalin indah dan
menyisakan cerita berkelanjutan. Tapi aku yakin itu bukanlah rasa cinta atau
semacamnya. Namun banyak santri lain yang salah menanggapi kedekatanku dengan
mas Rohim. Mbak Nadia adalah salah satu orang yang paling membenciku dia tidak
suka jika aku dekat dengan mas Rohim. Maklum sejak kelas XI MA dia sudah mulai
jatuh hati kepada mas Rohim.
Seperti biasa, hari ini aku akan
menyetorkanhafalanku, namun sebelum aku ke rumah mas Rohim Novi sempat
mengatakan sesuatu padaku.
“Key, hari ini nyetornya
sama ustadz Gafar, mas Rohim lagi keluar” Novi memberitahuku ketika aku sedang
memakai hijabku berwarna merah maron dengan totol putih dipinggirnya.
“ mas Roh kemana Nov?” masih
menghadap pada cermin merapikan jilbab yang tampak sedikit kurang rapi.
“ kata ustadz Gafar lagi
kepasar, gak tau ngapain” jelas Novi.
Setelah usai dengan hijabku, kuambil
Al-Quran kecil berwarna biru dengan corak bunga-bunga didepannya dan satu benda
yang tak pernah kulupakan adalah tasbih biru dari bunda. Hampir setiap
langkahku meninggalkan kamar,tasbih itu selalu menghiasi jemariku.
20 ayat kusetor saat itu tanpa panduan
tulisan. Dihadapan ustadz Gafar yang teliti menjelajahi huruf demi huruf yang
ku ucapkan. Mataku terus melukis ayah, logikaku menyusun huruf, dan lisanku
menyampaikan blak-blakkan. Setiap selesai aku menumpuk ayat pada ustadz Gafar.
Beliau selalu tersenyum bangga padaku. Sebenarnya aku ingin bertanya namu aku
takut.
Tit
tit suara motor mas Rohim telah masuk pada area halaman rumah. Suara
motor yang memekatkan telinga itu menggema sedemikian lantangnya. Membangunkan
mata-mata yang tekatup dijalan pesantren. Semua santri sudah akrab dengan suara
motor mas Roh. Suaranya khas dengan sentuhan knalpot bocor yang menambah
kemerduan suaranya.
“ Sudah nyetor sama Abi key
“ mas Rohim membayawa dua buah bingkisan dari dalam jok motornya.
“ Sudah, mas Rohim bawa
apa?” aku bertanya sambil melirik dua buah bingkisan berwarna hijau yang dibawa
oleh mas Rohim.
“ Kamu ini, masih kecil
sudah belajar kepo, urusan orang dewasa” mas Rohim mencubit pipiku gemas, lalu
meninggalkanku begitu saja.
Aku tak sadar ternyata mba Nadia
memperhatikanku dengan mas Rohim. Dari kejauhan tampak mba Nadia sangat marah
padaku. Aku mencoba menghapiri mba Nadia untuk menjelaskan kesalah pahaman ini.
Plak, itulah yang kudapatkan. Sebuah
tamparan yang hinggap di pipiku. Wajahku terhempas, aku terkejut dalam sekejam
aku menahan nafas dan mungkin jantungku berhenti berdetak.
“Keysya, kamu itu taukan kalau saya itu
suka sama mas Rohim, kamu tau itu semua, tapi kenapa kamu mendekati mas Rohim
terus” mba Nadia terus melontarkan kata-kata jengkelnya padaku.
“bukan begitu mba. Mba Nadia salah faham
Keysya gak pernah punya maksud ngambil mas Rohim “kucoba menjelaskan kucoba
merendahkan amarah mba Nadia, namun gagal. Lagi-lagi hinaan pedas dilemparkan
mba Nadia padaku
”sudahlah Key, kamu jangan
munafik siapa tau kamu itu gimana. Kamu Cuma baik diluarnya tapi busuk hatinya”
mba Nadia meninggalkanku dan pergi begitu saja.
*******
Sejak perdebatan mulut antara aku dan mbak
Nadia tadi pagi. Semua santri menghina dan mencaci maki diriku. Jujur saja aku
sangat sakit hati, mungkinkah mbak Nadia yang melakukan ini. Aku tau jika
memang iya, kenapa mbak Nadia begitu tega.
“oh ini ya orang yang suka
merebut calon orang lain “ celetuk salah seorang santri saat aku, Anita dan
Novi berada di dapur.
“mbak tolong dijaga
lisannya, mulutmu harimaumu” tegas Novi kepada orang yang telah
menggunjingkutada.
“Nov, Nov kamu itu sudah
salah pergaulan. Kamu itu seharusnya tidak berteman dengan orang munafik
seperti dia” tiba-tiba mbak Nadia masuk ke dapur dan ikut menimpali persiteruan
yang sedang terjadi. Dan yang membuatku sakit hati adalah mbak Nadia secera
terang-terangan menunjukku sebagai orang munafik.
“cukup, mbak Nadia
seharusnya tidak mempunyai kelakuan seperti itu. Mbak Nadia itu adalah panutan
kami, mbak yang selalu mengarahkan kami semua untuk berakhlak baik layaknya
akhlak Rasulullah, mbak Nadia selalu marah jika kami melakuka sesuatu yang
melanggar agama. Dan sekarang mbak menuduh Keysya tanpa bukti yang jelas, kok
mbak Nadia nekad berperilaku begitu.” Anita mulai tersulut amarah, dia yang
dari tadi diam disampingku mulai angkat bicara.
“saya tau kalau saya adalah
panutan kalian. Saya tau perilaku saya memang menjadi patokan kalian. Tapi satu
hal yang harus kalian ingat, saya tidak pernah mengajarkan kalian untuk
memiliki sifat munafik dam merampas hak orang lain. Dan satu lagi saya tidak
pernah melakukan tuduhan tanpa bukti yang kuat.” Adu mulut semakin panas, tak
satupun pihak mau mengalah. Aku yang dari tadi memang diam tanpa bahasa, hanya
mendengarkan dua kubu yang sedang pro kontra antara membelaku dan memojokkanku.
“ sudah, terserah apa yang
kalian bicarakan tentang saya. Allah itu maha tau, dan saya percaya bahwa Allah
akan selalu melindumgi saya.
Aku berlari keluar meninggalkan kerumunan
orang yang sedang terhasut omongan setan. Kedua sahabatku yang juga ikut
terkait dalam pertempuran itu mengejarku keluar. Mengikuti jejakku meninggalkan
manusia-manusia yang sedang berada pada naungan setan.
“Key jangan dengarkan ocehan
mereka tentang keburukanmu” hibur Anita padaku.
“santai saja, aku tau mbak
Nadia hanya salah sangka kepadaku “ aku tersenyum manis dihadapan mereka
berdua.
Saat aku sedang asik bercengkrama dengan
kedua sahabatku, tiba-tiba Aisyah datang memanggilku dari kejauhan menyoraikan
namaku dengan lantang.
“mbak Keysya “ teriak Aisyah
sembari melambaikan tangannya member tanda padaku. Aku menoleh kebelakang
mencari sumber suara Aisyah, sisis demi sisi pandanganku mencari Aisyah.
“mbak, Aisyah disini”
kembali Aisyah berteriak dengan suara lebih keras
“iya tunggu sebentar” aku
turun dari teras menemui Aisyah yang berada dibali kbesarnya pohon kelapa.
“mbak Keysya di panggil
ustadz Gaffar “ ujar Aisyah padaku.
“kenapa?” aku bertanya dengan
mengerutkan keningku.
“ Aisyah tidak tau mbak ?”
Aisyah menaikkan kedua bahunya member isyarat tidak tau.
“terima kasih informasinya”
“iya mbak sama-sama”
Aku berjalan menuju rumah ustadz Gaffar.
Perasaan bingung terus menghantui pikiranku, menimbulkan keringat dingin pada
tubuh yang berbalut kain muslimah. Kupercepat langkahku meniti jalanan tanah
kuning bertaburkan kerikil bebatuan diatasnyai. Aku sangat panic, karena
biasanya orang yang dipanggil oleh ustadz Gaffar pasti ada masalah atau kejadian
penting yang terjadi.Tiba-tiba seseorang menabrakku dari belakang, hingga aku
tersungkur diantara susunan batu jalanan. Tanganku terluka, aliran darah segar
menetes deras dan sedikit luka goresan bebatuan di pergelangan kakiku. Saat
kuangkat kepalaku karena ingin mengetahui siapa tersangka yang tega melakukan
ini padaku. Aku tak menyangka jika orang yang telah menabrakku adalah mbak
Nadia. Aku terkejut dia tidak meminta maaf kepadaku sama sekali justru dia
malah tersenyum menang. Apakah mbak Nadia bahagia melihatku jatuh tesimpuh
dihadapannya
“apakah iti sakit Key” ujar
mbak Nadia yang berdiri gagah di hadapanku. Tak satupun kata terlahir dari
lisanku, aku hanyamenunduk diam merasakan perih yang mulai terasa pada telapak
tangan dan pergelangan kakiku.
“kenapa kamu diam, apakah
itu sakit. Ingat Keysya sakit ini belum bisa membayar sakit hati saya karena
ulahmu. Dan suatu saat nanti saya akan melakukan hal yang lebih kejam daripada
ini “ mbak Nadia membalikkan badannya dan melangkah pergi meninggalkanku. Belum
genap sepuluh langkah mbak Nadia meninggalkanku ia kembali membalikkan badannya
menghadap kearahku yang masih terduduk
“oh ya, tentang apa yang di
sampaikan Aisyah hanyalah topeng bagiku untuk memancingmu datang ketempatini.
Jadi sebaiknya kamu tidak usah kesana karena itu hanya akan melelahkanmu saja”
kembali mbak Nadia membalikkan badan. Dan kini dia benar-benar meninggalkanku.
“ Astagfirullahhalazim “
hanya kalimat itu yang terlukis dalam batinku. Bagaikan rakyat yang melihat topeng asli
rajanya yang ternyata adalah seorang siluman, aku tak menyangka jika orang yang
selama ini kukagumi, dan kuanggap sebagai wanita sempurna tega melakukan ini.
Aku berusaha berdiri menahan pedih yang sedang memyelimutipergelangan kaki dan
telapak tanganku. Langkah demi langkah mulai terukir mengikuti perintah otakku
untuk kembali ke peristirahatan dan mengobati luka yang menguji keimanan. Dalam
pertengahan jalan aku bertemu dengan Anita dan Novi yang membawa sekeranjang
sayuran dan sebuah kantong plastik berukuran besar berisi bumbu-bumbu
dapur.melihatku yang sedang tertatih, reflek Anita dan Novi langsung panik
seketika.
“Keysya, kamu kenapa?” Tanya
Anita sambil mengangkat tanganku dan melihat genangan darah yang mulai
mengering.
“ gak apa-apa kok cuma luka
sedikit, tadi aku terpeleset dan jatuh ditikungan rumah ustadz Gaffar.” Aku
melepaskan tanganku dari genggaman Anita.
Perlahan pandanganku mulaikabur, kepalaku
juga sangat pusing hingga akhirnya kukerahkan seluruh teknologi modern tubuhku
untuk menstabilkan kinerja kepala dan pandanganku. Namun aku tak berhasil aku
tersungkur pada pelukan Anita dan Novi. Seluruh pandanganku gelap,
syaraf-syaraf yang terhubung pada indra gerak dan fantasiku mati. Alam sadarku
benar-benar hilang, mungkinkah malaikat Izrail telah menjemputku. Keranjang dan
kantong plastic yang dibawa oleh Anita dan Novi tak diperdulikan lagi.
Teriakan-teriakan mereka mulai menyeringah sepanjang jalan. Sebuah sedan
berwarna putih tampak diujung jalan sepertinya sedan itu akan melewati jalanan
ini. Tanpa memperdulikan siapa orang yang menjadi otak dari mobil itu dengan
cepat Novi meneriaki mobil itu.
“tolong tolong “ teriaknya
serak namun mampu menarik pendengaran
siapapun yang berada pada zonasi 200 meter disekitarnya.
“ Astagfirullah Nov, kamu tau
tidak itu mobil siapa? Itu mobil mas Rohim” Anita memandangi Novi yang
usaixdengan teriakannya.
“ya Allah Nit, kenapa kamu
tidak mengatakan sebelum aku berteriak” Anita hanya menggelengkan kepala.
“Nit gimana kalau nanti
hafalan Al-Qur’anku gak barokah “ tampak rasa bersalah pada wajah Novi.
Tapi biar bagaimanapun mas Rohimsudah
terlanjur mendngar teriakan Novi, ia pun menghampiri Novi.
“kenapa Nov kok kamu
teriak-teriak di jalanan” mas Rohim membuka kaca mobil dan mengeluarkan
kepalanya dari balik kaca mobil itu.
“a…… e…… itu mas Keysya
pingsan “ tergagap antara panik dan takut.
“Astagfirullah Keysya”
sontak mas Rohim membuka pintu mobil lalu keluar dan merebutku dari pangkuan
Anita. Berulang kali mas Rohim menepuk pipiku namun percuma kesadaran belum
menyelubungi ragaku.
“kenapa dia” Tanya mas Rohim
pada Anita dan Novi yang mematung dihadapannya.
“saya tidak tau mas, tadi
saya menemukan Keysya dia masih sadar. Hanya saja ada beberapa luka yang
menyebar di tubuhnya. “ panjang lebar Novi menjelaskan .
Tenyata Anita baru menyadari apa yang
sedang terjadi dihadapannya. Bahwa mas Rohim dan aku sedang bersentuhan secara
langsung. Dalam agama Islam laki-laki dan perempuan bukan muhrim bersentuhan
sudah tergolong perbuatan zina. Sontak Anita berkata
“Astagfirullahalazim, mas
Rohim kalian bukan muhrim” Anita mengejutkan mas Rohim yang sedang mengangkat
tubuhku yang tinggal raga.
“tidak, dia muhrim saya “
sebuah pernyataan yang sangat mengejutkan telah dilontarkan mas Rohim pada
kedua gadis itu. Seketika Anita terdiam
mencoba mencerna kalimat dari mas Rohim. Namun Novi mendorongnya kedalam
mobil untuk menjagaku yang sudah berada di dalam mobil. Darah segar dari
tanganku terus menetes, terkumpul menjadigenangan sirup stroberi. Mas Rohim
menginjak gas mobilnya tanpa ampun memaksa mobil untuk berjalan melawan maut di
jalanan, membelah angin yang berhembus, membisukan burung yang sedang melakukan
konser. Rumput alang-alang melambai-lambai dipinggir jalan menyambut kuda besi
yang berlari secepat kilat.
Berdasarkan penglihatan kedua sahabatku
seiring berjalannya waktu. Wajahku semakin pucat, aliran darahku mulai tak
teratur, dan detak jantungku semakin lemah.
“ma Roh, ayo lebih cepat
lagi, kondisi Keysya semakin parah” Anita merengek cemas kepada mas Rohim.
Pacuan yang memang sudah
lajuditambah dengan kecemasan yang semakin mendera membuatmas Rohim kehilangan
akal, semuakapasitas kecepatan mobil dikerahkan, mobil dan motor merajuk karena
mas Rohim mengendarai mobil ugal-ugalan.
*******
Pintu ruang Unit Gawat Darurat ( UGD )
masih tertutup, penantian 30 menit terasa panjang. Mas Rohim duduk dikursi
dekat pintu, mulutnya berkomat-kamit membaca ayat suci Al-Qur’an. Sementara
Anita berdiri bersandar didekat pintu. Sementara Novi modar-mandir tidak karuan
di depanpintu UGD sesekali mengintip kedalam melalui kaca.
“mas, apa tidak sebaiknya
kita beritahu ustadz Gaffar” Novi mengusulkan niatnya.
“ sbaiknya memang itu yang
harus kita lakukan “ mas Rohim menghentikan bacaannya dan mengambil Hp di saku
kantong celananya.
Mas Rohim mendekatkan balok bernyawa
ditelinganya. Mendengarkan dengan cermat apabila ada seseorang menyapa disana.
Mas Rohim berbicara dengan agak menjauh dari posisi Anita dan Novi. Anita termenung memikirkan pernyataan
blak-blakan yang diungkapkan mas Rohim tadi. Ia mencoba merumuskan dengan
segala perhitungan mutlak. Mas Rohim sudah datang dari persembunyiannya dalam
menutupi percakapannya melaliu telefon tadi.
Dalam hitungan detik berita tentang Keysya
masuk rumah sakit tersebar luas di seluruh penjuru pesantren. Menggerayah
setiap lisan dan telinga penghuni pesantren. Kabar itu tak terlewat dari
pendengaran mbak Nadia, orang terakhir kali bersamanya sebelum kejadian ini.
Ketukan pintu menggema di kamar mbak Nadia
“masuk” kata mbak Nadia dari dalam kamar.
“oh kamu Aisyah ada apa?” mbak Nadia sedang melipat
pakaian di atas kursi.
“mbak sudah dengar kabar
yang lagi viral di pesantren kita ini” Aisyah duduk dikursi kosong depan mbak
Nadia.
“kabar apa” Tanya mbak Nadia
penasaran
“mbak Keysya masuk rumah
sakit. Tadi saya dengar pembicaraan ustadz Gaffar melalui percakapn telefon.
Katanya sih sebelumya mbak Anita dan mbak Novi yang menemukan mbak Keysya saat
pada tubuhnya banyak terdapat luka.” Aisyah menjelaskan dengan detail apa yang
telah di dengarnya tadi. Mbak Nadia terdiam, dia takut jika aku masuk rumah
sakit karena ulahnya tadi.
“ apakah ustadz Gaffar
hendak pergi kesana” mbak Nadia bertanya sedikit cepat karena terlalu panic.
“sepertinya iya mbak tadi
ustadz Gaffar sedang…….” Tanpa mendengarkan
penjelasan Aisyah mbak Nadia langsung bangkit dari kursi dan berlari kerumah ustadz Gaffar
meninggalkan Aisyah sendiri. Dengan sekuat tenaga mbak Nadia berlari menuju
rumah ustadz Gaffar. Ia tak ingin tertinggal oleh ustadz untuk pergi kerumah
sakit.
*******
Ruang UGD masih bungkam menutupi tragedi
nyata di dalamnya, menciptakan tabir kecemasan. Ustadz Gaffar dan mbak Nadia
telah tiba menemui tiga insane muda yang butuh sandaran dari serangan
kecemasan.
“bagaimana ini abi, sudah
setengah jam berlalu tapi dokter belum juga memberikan kabar tentang Keysya.
Mas Rohim langsung bangkit dari tapanya kala sang abi datang.
“ tenanglah, dia akan
selamat perbanyaklah berdo’a” kecemasan mas Rohim yang mendalam menimbulkan
rasa cemburu hebat di hati mbak Nadia.
Perlahan pintu yang dari tadi membisu
akhirnya membuka mulut mencari keluarga dari pasien yang ia tamping.
“apakah ada keluarga dari
pasien atas nama Keysya Nur Aini Az Zahra “ Tanya seorang dokter wanita
berhijab.
“saya kakak kandungnya dok,
ada apa dengan adik saya” entah rahasia besar apa yang akan terungkap mas Rohim
mamapu mengatakan hal itu. Semua mata tertuju padanya kecuali ustadz Gaffar.
Semua tatapan bertanya apa yeng barusan mereka dengar.
“bisa ikut saya keruangan “
sepertinya ada hal penting yang ingin disampaikan mengenai keadaank u. mas
Rohim hanya mengangguk.
Jutaan pertanyaan mulai menghinggapi insan
yangmenunggu kabar seorang Keysya Nur Aini Az Zahra. Mengharap jika kabar baik
menjadi hadiah saat kepulangan mas Rohim keluar dari ruangan itu. Jarum jam berjalan
lambat namundetak jantung berdegup kencang. Itulah yang dirasakan Anita dan
Novi. Berbagai do’a mereka panjatkan berbagai harapan mereka kirimkan.
Penantian mereka berakhir ketika mas Rohim keluar dari ruangan dengan raut
wajah yang tak seperti biasanya. Tampak kesedihan mendalam, penyesalan tak
termaafkan,seperti tak mempunyai semangat untuk hidup lagi. Pandangannya suram
dan tiba-tiba mas Rohim terjatuh kedua lutunya menghantam lantai namun badannya
tetap tegak. Berbagai pertanyaan muncul dalam benak.
“ apa yang terjadi pada
adikmu Rohim” ustadz Gaffar bertanya kepada mas Rohim yang mulai kehilangan
konsentrasi.
“ kata dokter Keysya……
Keysya mengalami kanker stadium 4, usianya tak akan lama lagi hanya berkisar 6
bulan. “ tangis mas Rohim pecah seketika
Tubuh Anita terhuyung kebelakang, air
matanya mengalir deras bagaikan air terjun dari ketinggian deras dan
menyakitkan. Begitupun Novi dia hanya mampu terdiam memandangi pintu UGD yang
penuh dengan cekaman luka dan duka. Begitupun mbak Nadia dia merasa lega karena
Keysya masuk rumah sakit bukan karena ulahnya tapi karena penyakitnya. Namun di
sisi lain nalurinya terluka, biar bagaimana pun dia adalah seorang wanita.
Tanpa ia sadari ia pun turut membuang air mata dari samudra.
Saat itu luapan air mata membanjiri rumah
sakit, melambangkan ketidak relaan atas apa yang telah terjadi.
Kini sudah tiba waktunya untuk kita semua
membuka tabir yang telah lama menutupi kebenaran, menggali tanah yang memendam
kenyataan. Menerbitkan kebenaran” semua kalimat itu membuka awal bahwa akan terbuka
kebenaran besar yang penting.
*******
Samar-samar pemandangan disekitarku semua
tampak blur tak bisa dipandang secara jelas. Kukedipkan mataku berkali-kali
berharap pada salah satu kedipanku semua terlihat jelas, ternyata semua usahaku
tidak sia-sia semua sudah tampak jelas. Aku tak tau apa yang terjadi aku berada
di atas sebuah ranjang, selang infuse menusuk dan mengalirkan cairan bening
pada tubuhku, ruangan yang sebelumnya belum pernah kulihat pun menyambutku. Aku
berusaha bangkit namun tubuhku terasa berat Anita membuka pintu ruangan dan
menyaksikan bahwa aku sudah sadar. Dia tampak bahagia.
“Keysya sudah sadar” itulah
kalimat yang terucap saat melihatku, tak lama setelah Anita masuk Novi, mas
Rohim, ustadz Gaffar, dan mbak Nadia masuk. Disusul oleh dokter dan seseorang
yang tak pernah kusangka dia akan menemuiku dia adalah bunda. Seluruh rasa
sakit dan pedih tak lagi kurasa, aku seperti bugar lagi, kupeluk bunda dan
berlinangkan air mata.
“permisi bu, biar pasiennya
saya cek dulu ya” itulah yang dikatakan dokter. Setelah merasakan beberapa
detak jantung dan aliran darahku dokter itu tersenyum.
“subhanallah, mungkin benar
bahwa kebahagiaan bisa mengalahkan rasa sakit. Saat ini kondisi de’ Keysya
sudah hamper stabil mungkin besok sore sudah bisa pulang, tapi harus sering-sering
kesini untuk selalu memantau keadaan” dokter langsung keluar meninggalkan
ruangan.
Saat ini aku sangat bahagia bisa bertemu
dengan bunda. Namun aku merasa ada sesuatu yang beda disaat aku sedang bahagia
semua orang berperilaku beda. Mereka memang tersenyum tapi aku tau, aku
bukanlah anak kecil yang bisa dibohongi mereka menyembunyikan sesuatu dariku.
“apa yang terjadi, kenapa
kalian semua berubah?”kupandang satu per satu pasang mata orang-orang yang ada
di ruangan ini.
“kami hanya bahagia karena
kamu sudah boleh pulang” itulah jawaban bunda.
“kami bahagia karena
akhirnya kamu bisa melanjutkan menghafal Al-Qur’an bersama kami “ itulah
jawaban dari Novi.
Tapi aku tau betul, bukan jawaban itu yang
kuinginkan. Mereka semua berbohong padaku.
*******
Mentari pagimulai terlukis pada hamparan
kertas biru sang pencipta. Ribuan burung bahagia menyambut datangnya lukisan
raksasa itu. Keajaiban Allah memang sempurna, hanya dia yang mampu melukis
gambaran sesempurna itu tak ada kecacatan pada karyanya. Jutaan rumput ilalang
menari menyambut pagi diiringi irama tetesan air dari daunt alas yang sesekali
jatuh mengenai bebatuan yang tersusun dipermukaan tanah. Kembali aku mengawali
hari dengan suasana pondok pesantren dan canda tawa sahabatku.
“Key kita dipanggil ustadz
Gaffar sekarang” ujar Novi padaku saat aku sedang melipat selimut yang masih
terjabar di atas ranjang tidurku.
Aku, Anita dan Novi datang bersamaan kerumah
ustadz Gaffar dan disana sudah ada mbak Nadia, bunda, mas Rohim dan ustadz
Gaffar sudah menunggu.
“assalamualaikum” serentak
aku dan kedua sahabatku mengatakan kalimat itu.
“waalaikumsalam” jawab
ustadz Gaffar dan semua orang yang ada didalam.
“sekarang semua orang sudah
terkumpul. Hari ini saya akan membuka sebuah tabir penghalang kenyataan. Sudah
sekian lama tabir ini menutup rapat fakta. Hidup yang selama ini terjalin akan
terugkap apakah itu fakta atau sekedar opini. Dan apapun yang terjadi nanti tak
satu orang pun boleh menyangkal, tak aka nada lisan yang mampu menyembunyikan
lagi karena ini adalah fakta yang sesungguhnya. Semua logika mengarah pada satu
kalimat.semua pandangan terpaku pada satu titik. Pagi itu mentari enggan
menebar sinar pada buminya. Burung pun berubah niat yang tadi pagi sempat
bernyanyi suka kini turut memperhatikan rapat penting di istana sederhana
ustadz Gaffar.
“apakah kalian tau mengapa
saya mengizinkan Keysya Nur Aini Az Zahra berhubungan akrab, saling bersentuhan
dan bercanda gurau tanpa batas dengan Saiful Rohim? “ satu persatu raga di
pandangi ustadz Gaffar .
“ apakah mereka dijodohkan “ Tanya Novi .
“sekalipun dijodohkan jika belum menikah
ya bukan muhrim. Jika mereka bersentuhan itu adalah zina” ketus mbak Nadia
menjawab pertanyaan Novi.
“perkiraan kalian salah, tidak ada yang
dijodohkan disini. Hubungan antara mereka berdua adalah adik-kakak kandung”
jawaban itu mengejutkan telinga siapapun yang mendengarnya, mungkin logika ini
tak bisa diterima akal normal namun mau disangkal bagaimanapun ini adalah
kenyataan.
“kenapa bisa begitu bun, katakana yang
sebenarnya pada Key?” aku tidak percaya dangan semua itu, karena yang aku tau
aku adalah anak tunggal.
“dulu, ada orang yang mehculik kakamu orang
yang saat ini kamu panggil mas Rohim. Orang itu membuang kakamu ditepi sungai,
kebetulan saat itu saya sedang lewat. Saya menemukan kakakmu dan berusaha
mencari tau orang tuanya. Akhirnya saya putuskan untuk mengangkatnya sebagai
anak. Kemudian 17 tahun telah berlalu, pak Bayu Wijaya ayahmu menjadi donatur
saat pesantren ini sudah berada diujung tanduk karena terlilit hutang. Mulai
dari kejadian itu sedikit demi sedikit kabut perpisahan mulai terhapus dan
akhirnya membuka penjara besi yang menutupi fakta. Ayahmu mengetahui bahwa
Saiful Rohim alias Alvino Galih Prasatya masih hidup dan selamat.” Mendengar fakta itu aku terdiam dan kembali
melayangkan pertanyaan.
“Mengapa ayah dan bunda
tidak pernah memberi tau Keysya jika sebenarnya Key mempunyai seorang kakak?”
“Karena saat itu bunda berfikir bahwa kakakmu
sudah tiada dan bunda tidak mau mengingat semua itu. Dengan berat hati akhirnya
ayah dan bunda putuskan untuk tidak memberi taumu tentang hadirnya seorang
kakak dalam hidupmu” jelas bunda hingga air matanya mengalir sederas hujan
badai.
Pertanyaan, jawaban, dan penolakan
berlangsung panas diruangan itu. Kat demi kata meninggalkan saramgnya, namun
fakta adalah fakta jutaan bukti menguatkannya. Perang logika tak terhindarkan
merebut tahta sebagai pemenang. Namun sudah menjadi alur ilahi bahwa pada
kenyataannya Saiful Rohim dan Keysya Nur Aini Az Zahra adalah adik kakak.
*******
Sejak perdebatan sengit 5 bulan yang lalu
aku dan mas Saiful semakin dekat.dan sekarang mbak Nadia tidak membenciku. Dia
semakin menyayangiku, karena saat ini mbak Nadia sudah tau selama jika selama
ini cintanya tak bertepuk sebelah tangan.
Akhir-akhir ini mas Saiful sering
menuliskan puisi lalu mengurimkan kekamar mbak Nadia diam-diam tanpa
sepengetahuan ustadz Gaffar.
Wahai bidadariku
Engkau bagaikan sang rembulan
Engkau tenggelam dalam larutnya malam
Namun usahamu begitu kuat
Sinarmu begitu tajam
Memecah kesunyian bintang
Wahai bidadariku
Berabad-abad kau menemaniku
Gelap terang mentari
Suka dukanya hati
Semua kita lewati bersama
Cinta kita dalam naungan islam
Bidadariku
Maukah kau menjadi makmumku
Menjadi teman bergenggam tangan
Dalam indahnya pelangi syurga
Dalam indahnya dunia cinta
Namun sayang itu adalah puisi terakhir dari
mas Rohim untuk mbak Nadia. Saat itu mas Rohim mengendap kekamar mbak Nadia,
namun ustadz Gaffar berhasil menangkap basah mas Rohim. Sidang pun tak
terhindarkan, namun mas Rohim dan mbak Nadia bahagia dengan adanya sidang itu,
sehingga kedua insan itu harus menjalani pernikahan dengan janji suci. Dengan
demikian mereka akan dibebaskan untuk
melakukan apapun tanpa batasan. Keputusan dari ketiga nyawa telah bulat bahwa
bulan depanlah yang dijadikan saksi janji suci sehidup semati.
Dan setelah aku dari rumah sakit, aku
lebih giat dalam menghafal. Kini aku tak ragu lagi untuk menyetor hafalanku
kapanpun. Kini hafalanku sudah hampir selesai kurang 2 juz lagi aku akan
menguasai 6666 ayat karya sang pencipta. Dan sejak aku keluar dari rumah sakit
aku merasa ada sesuatu yang beda pada diriku. Aku sering merasa pusing bahkan
hampir pingsan, jujur saja semua itu sudah sering kurasakan sejak satu tahun
lalu. Namun semua itu tak pernah ku hiraukan dan kini rasa sakit itu semakin
menjadi, menyiksa, dan menghancurkan keseharianku.
Malam itu aku terbangun dari kerajaan
fantasiku, rasanya tenggorokanku terasa sangat kering mungkinkah kemarau
berkepanjangan melanda. Saat kubuka mataku Anita dan Novi sudah tidak ada
dikamar. Aku langsung menuju dapur mencari seteguk air untuk menghujani
tenggorokanku. Segelas air berhasil memasuki gua dan menyiram tanah yang
tandus. Aku kembali kekamar, namun langkahku terhenti ketika aku mendengar ada
perbincangan antara mas Rohim dan bunda ditaman.
“bun, apa
tidak seharusnya kita beritahu Keysya tentang penyakitnya” mas Rohim bersimpuh
dihadapan bunda yang menangis terseduh.
“Bunda ingin
mengatakannya, tapi bunda tidak sanggup”
“tapi bunda,
bagaimana dengan usianya yang hanya tinggal satu bulan. Saya belum siap, jika
harus kehilangan Keysya dalam waktu secepat itu” mas Rohim belum berdiri dari
posisi awalnya, dia berharap bunda mau mengatakan fakta tersebut kepada Keysya.
“Tidak,
apapun yang terjadi nanti Keysya tidak boleh tau tentang hal ini. Jika prediksi
itu memang benar usia Key sudah di ujung tanduk, setidaknya Keysya akan
meninggal dalam keadaan bahagia. Namun ada satu hal yang harus kamu tau bunda
tetap percaya bahwa usia manusia adalah rahasia ilahi. Rahasia yang tidak akan
terbongkar walaupun oleh semut merah sekalipun” perlahan bunda menghapus air
matanya.
Bagaikan longsor sedang terjadi, kalimat
yang singkat itu berhasil menenggelamkan bangunan kebahagiaanku, meratakan
semua tunas-tunas mimpiku. Indahnya serpihan kaca tak lagi kurasakan, formasi
kunang-kunang tak lagi istimewa bagiku. Semua saraf kebahagiaanku telah putus.
Aku berlari meninggalkan taman yang menjadi tuan rumah pembicaraan maut itu. Air
mata menjadi jejak utamaku, menjadi penggati langkah kakiku. Tangisku semakin
menjadi saat aku mulai memasuki kamar yang biasanya penuh canda tawa antara aku
dengan Anita ataupun Novi berubah menjadi neraka. Disudut kamar sederhana ini
aku duduk, menangis dan menenggelamkan wajahku diantara kedua lututku. Aku
tidak bisa membayangkan bagaimana nanti aku akan dibalut oleh putihnya kain
kafan, lalu diangkat oleh mas Rohim, ustadz Gaffar, dan beberapa santri lain.
Lalu dibelakang bunda sedang menangis pilu, meratapi ragaku tanpa nyawa. Kemudian
mereka semua harus menenggelamkanku dalam galian tanah dan bertaburkan bunga
warna-warni. Lalu mereka semua pergi meninggalkanku sendiri tanpa seorang teman
atau secercah cahaya dari indahnya mentari.
Kupaksa tubuhku bangkit dan mengambil
sebuah batang berwarna merah berisikan tinta hitam dan secarik kertas putih. Ku
ukir beberapa kalimat diatasnya.
Jika nanti aku pulang tolong jaga diri kalian semua
jaga senyum kalian semua
Bunda
Jika nanti Keysya pulang
jadilah orang pertama yang menyiram Keysya
dengan air diatas raga Key
terima kasih untuk
semua
maaf
jika Key sering
membuat bunda marah
mas
Rohim
makasih
ya untuk semua
selama
ini mas Rohimlah yang
berjasa pada Key
untuk
sekedar mendengarkan Key
menyetorkan
ayat yang tidak banyak
mbak
Nadia
jadilah
istri sholehah
jaga
mas Rohim
jangan
biarkan dia diikat orang
lain
sahabatku
karna
kalian aku sadar
bahwa
dibawah duka ada
duka yang lebih dalam
karna
kalian aku punya
semangat menghafal Al-Qur’an
terima
kasih semua, aku akan
pergi untuk selamanya, aku akan
menyusul ayah ke
syurga
*******
Gaun putih sederhana dengan ciri khas
pakaian Jawa dan mahkota hijab beruntaikan bunga melati, menjadi pakaian
terindah pada hidup mbak Nadia. Wajah yang tampak bercahaya menjadi lambing
kebahagiaan mbak Nadia, hari ini ia tampak seperti seorang ratu yang cantik dan
mempesona. Aku yakin siapapun kaum adam yang melihatnya pasti akan memanahkan
peluru asmaranya. Namun sayang walaupun permata dan istana megah yang
diserahkan pria lain tetaplah kitab suci Al-Qur’an dan untaian tasbih dari mas
Rohim yang akan menjinakkan kerasnya hati mbak Nadia. Begitupun mas Rohim dia
lebih terlihat gagah dan tampan dengan baju raja ditambah dengan perhiasan
barunya yaitu mbak Nadia. Dua insan itu duduk bersama. Raut kebahagiaan tak
bisa dihindarkan dan disembunyikan dari pandangan mereka. Mas Rohim menjabat
tangan orang yang akan membimbingnya
menjadi imam mbak Nadia. Kalimat demi kalimat telah terucap, sumpah
telah ditanda tangani berdasarkan kesaksian ilahi. Bermodalkan seperangkat alat
salat dan surah Ar-rahman mbak Nadia resmi menjadi istri mas Rohim. Kini
hadirlah pasangan anak adam yang akan melahirkan anak adam berikutnya. Hatiku
sangat tentram melihat semua itu, aku sangat bahagia melihat siaran langsung
ketika salam pertama mbak Nadia untuk mas Rohim. Meminta restu dan doa dari
orang tua adalah tradisi tak mungkin akan terlupakan, usai restu dari bunda mas
Rohim menghampiriku
“mas,
selamat ya” aku mencium tangan mas Rohim penuh cinta.
“iya”
belaian tangan halus mas Rohim hinggap dikepalaku.
“mas izinkan
Keysya menyetor dua ayat terakhir Keysya di tempat ini. Key ingin bunda melihat
secara langsung bahwa Key telah sanggup menghafalkan Al-Qur’an” entah apa yang
terjadi wajahku menjadi pucat, ujung tangan dan telapak kakiku menjadi dingin.
Mas Rohim hanya mengangguk pelan, semua
orang memandang dan menyaksikanku. Kumulai dengan membaca ta’awuz huruf demi
huruf mulai terurai diiringi tubuhku yang semakin dingin dan semakin pucat.
Detik terakhir aku membaca Al-Qur’an adalah kalimat “sodakallahul’azim” seiring
kalimat itu berhenti aku langsung jatuh kebelakang di pangkuan bunda. Saat itu
juga nafasku terhenti, detak jantung tak berdenyut lagi, dan seluruh aliran
darah berhenti. Mengetahui hal itu sebuah kalimat yang diucapkan ustadz Gaffar adalah
“innalillahi wainnailaihi rajiun”
Bagaikan menyambut datangnya kiamat,
kebahagiaan yang diciptakan mas Rohim dan mbak Nadia berubah menjadi tangis dan
luka. Diatas jasadku bunda menangis sedih. Tak ada lagi senyum diseluruh wajah
manusia yang ada pada acara tersebut.
“jangan
tangisi dia, dia meninggal dalam keadaan khusnul khotimah” itulah ucapan
terakhir ustadz Gaffar. Kini 6666 ayat telah terwujud dalam indahnya TIRAI
SURGAWI.
Komentar
Posting Komentar